Puasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan masyru’
(disyari’atkan). Pendapat yang menyatakan bid’ah atau haditsnya lemah,
merupakan pendapat bathil. Imam Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad
menyatakan istihbab pelaksanaannya.
Adapun Imam Malik, beliau rahimahullah menilainya makruh. Agar, orang
tidak memandangnya wajib. Lantaran kedekatan jaraknya dengan Ramadhan.
Namun, alasan ini sangat lemah, bertentangan dengan Sunnah shahihah.
Alasan yang diketengahan ini tidak tepat, jika dihadapkan pada
pengkajian dan penelitian dalil, yang akan menyimpulkan pendapat
tersebut lemah. Alasan terbaik untuk mendudukkan yang menjadi penyebab
sehingga beliau berpendapat demikian, yaitu apa yang dikatakan oleh Abu
‘Amr Ibnu ‘Abdil Barr, seorang ulama yang tergolong muhaqqiq (peneliti)
dalam madzhab Malikiyah dan pensyarah kitab Muwatha.
Abu ‘Amr Ibnu ‘Abdil Barr berkata,”Sesungguhnya hadits ini belum
sampai kepada Malik. Andai telah sampai, niscaya beliau akan berpendapat
dengannya.” Beliau mengatakan dalam Iqna’, disunnahkan berpuasa enam
hari di bulan Syawal, meskipun dilaksanakan dengan terpisah-pisah.
Keutamaan tidak akan tetap diraih bila berpuasa di selain bulan Syawal.
Seseorang yang berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah berpuasa
Ramadhan, seolah-olah ia berpuasa setahun penuh. Penjelasannya, kebaikan
dibalas dengan sepuluh kali lipat. Bulan Ramadhan laksana sepuluh
bulan. Sementara enam hari bagai dua bulan. Maka hitungannya menjadi
setahun penuh. Sehingga dapat diraih pahala ibadah setahun penuh tanpa
kesulitan, sebagai kemurahan dari Allah dan kenikmatan bagi para
hambaNya.
Dari Tsauban Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ فَذَلِكَ تَمَامُ صِيَامِ السَّنَةِ
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan, satu bulan seperti sepuluh bulan
dan berpuasa enam hari setelah hari Idul Fitri, maka itu merupakan
kesempurnaan puasa setahun penuh”. (Hadits shahih, riwayat Ahmad, 5/280; an Nasaa-i, 2860; dan Ibnu Majah, 1715. Lihat pula Shahih Fiqhis Sunnah, 2/134)
BILAMANA PELAKSANAANNYA?
Syaikh Abdul Aziz bin Baz, di dalam Majmu’ Fatawa wal Maqalat
Mutanawwi’ah (15\391) menyatakan, puasa enam hari di bulan Syawal
memiliki dasar dari Rasulullah. Pelaksanaannya, boleh dengan berurutan
ataupun terpisah-pisah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutkan pelaksanaannya secara mutlak, dan tidak menyebutkan caranya
dilakukan dengan berurutan atau terpisah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam” :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan
puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka ia seperti puasa satu tahun” (HR Muslim, dalam ash Shiyam, bab Istihbabish-Shaumi Sittati Ayyam min Syawwal, 1164)
Beliau rahimahullah juga berpendapat, seluruh bulan Syawwal merupakan
waktu untuk puasa enam hari. Terdapat riwayat dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda : Barangsiapa
berpuasa Ramadhan kemudian melanjutkannya enam hari dari bulan Syawwal,
maka ia seperti puasa satu tahun.
Hari pelaksanaannya tidak tertentu dalam bulan Syawwal. Seorang
mu`min boleh memilih kapan saja mau melakukannya, (baik) di awal bulan,
pertengahan bulan atau di akhir bulan. Jika mau, (boleh) melakukannya
secara terpisah atau beriringan. Jadi, perkara ini fleksibel,
alhamdulillah. Jika menyegerakan dan melakukannya secara berurutan di
awal bulan, maka itu afdhal. Sebab menunjukkan bersegera melakukan
kebaikan.
Para ulama menganjurkan (istihbab) pelaksanaan puasa enam hari
dikerjakan setelah langsung hari ‘Idhul Fitri. Tujuannya, sebagai
cerminan menyegerakan dalam melaksanakan kebaikan. Ini untuk menunjukkan
bukti kecintaan kepada Allah, sebagai bukti tidak ada kebosanan
beribadah (berpuasa) pada dirinya, untuk menghindari faktor-faktor yang
bisa menghalanginya berpuasa, jika ditunda-tunda.
Syaikh ‘Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd menjelaskan : “Dalam hadits
ini (yaitu hadits tentang puasa enam hari pada bulan Syawwal), tidak ada
nash yang menyebutkan pelaksanaannya secara berurutan ataupun
terpisah-pisah. Begitu pula, tidak ada nash yang menyatakan
pelaksanaannya langsung setelah hari raya ‘Idul Fithri. Berdasarkan hal
ini, siapa saja yang melakukan puasa tersebut setelah hari Raya ‘Idul
Fithri secara langsung atau sebelum akhir Syawal, baik melaksanakan
dengan beriringan atau terpisah-pisah, maka diharapkan ia mendapatkan
apa yang dijanjikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, itu semua
menunjukkan ia telah berpuasa enam hari pada bulan Syawwal setelah
puasa bulan Ramadhan. Apalagi, terdapat kata sambung berbentuk tsumma,
yang menunjukkan arti tarakhi (bisa dengan ditunda).”
Demikian penjelasan singkat mengenai cara berpuasa enam hari pada
bulan Syawwal setelah puasa bulan Ramadhan. Mudah-mudahan dapat
memotivasi diri kita, untuk selalu mencintai sunnah-sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tidak lain akan mendekatkan kita
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam bish-shawab.
BAGAIMANA JIKA MASIH MENANGGUNG PUASA RAMADHAN?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah, apakah boleh
mendahulukan puasa sunnah (termasuk puasa enam hari di bulan Syawwal)
sebelum melakukan puasa qadha Ramadhan.
Imam Abu Hanifah, Imam asy Syafi’i dan Imam Ahmad, berpendapat
bolehnya melakukan itu. Mereka mengqiyaskannya dengan shalat thathawu’
sebelum pelaksanaan shalat fardhu.
Adapun pendapat yang masyhur dalam madzhab Ahmad, diharamkannya
mengerjakan puasa sunnah dan tidak sah, selama masih mempunyai
tanggungan puasa wajib.
Syaikh Bin Baz rahimahullah menetapkan, berdasarkan aturan syari’at
(masyru’) mendahulukan puasa qadha Ramadhan terlebih dahulu, ketimbang
puasa enam hari dan puasa sunnah lainnya. Hal ini merujuk sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian diiringi dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka ia seperti puasa satu tahun”.
Barangsiapa mengutamakan puasa enam hari daripada berpuasa qadha,
berarti belum mengiringkannya dengan puasa Ramadhan. Ia hanya
mengiringkannya dengan sebagian puasa di bulan Ramadhan. Mengqadha puasa
hukumnya wajib. Sedangkan puasa enam hari hukumnya sunnah. Perkara yang
wajib lebih utama untuk diperhatikan terlebih dahulu.
Pendapat ini pun beliau tegaskan, saat ada seorang wanita yang
mengalami nifas pada bulan Ramadhan dan mempunyai tekad yang kuat untuk
berpuasa pada bulan Syawwal. Beliau tetap berpendapat, menurut aturan
syari’at, hendaknya Anda memulai dengan puasa qadha terlebih dahulu.
Sebab, dalam hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
puasa enam hari (Syawwal) usai melakukan puasa Ramadhan. Jadi perkara
wajib lebih diutamakan daripada perkara sunnah.
Sementara itu Abu Malik, penulis kitab Shahih Fiqhis Sunnah
berpendapat, masih memungkinkan bolehnya melaksanakan puasa enam hari di
bulan Syawal, meskipun masih memiliki tanggungan puasa Ramadhan. Dasar
argumentasi yang digunakan, yaitu kandungan hadits Tsauban di atas yang
bersifat mutlak.
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun X/1427/2006M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
No comments:
Post a Comment